Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon
Thursday, June 01, 2017
DI
PASSILIRAN (kuburan
bayi di Toraja, dibuat di pohon tarra) ini,
kendati begitu ringkih, tubuh Indo (ibu) tidak
pernah menolak memeluk anak-anaknya. Di sini, di dalam tubuhnya—bertahun-tahun
kami menyusu getah. Menghela usia yang tak lama. Perlahan membiarkan tubuh kami
lumat oleh waktu—menyatu dengan tubuh Indo. Lalu kami akan berganti menjadi
ibu—makam bagi bayi-bayi yang meninggal di Toraja. Bayi yang belum tumbuh
giginya. Sebelum akhirnya kami ke surga.
Beberapa
hari yang lalu, kau meninggal—entah sebab apa. Kulihat kerabatmu menegakkan
eran (tangga) di tubuh Indo untuk mereka panjati. Sudah kuduga, kau
keturunan tokapua (golongan bangsawan/kasta tertinggi), makammu harus diletakkan di tempat
tinggi. Padahal kau, aku, dan anak-anak Indo yang lain, kelak di surga yang
sama.
Pagi-pagi
sekali, kau berdiri di ambang bilik—mengetuk pintu ijukku yang rontok sebab
bertahun-tahun tak diganti.
”Boleh
masuk?”
Aku
mengangguk, takut salah bicara dan kau akan murka. Bagi tomakaka (kasta
menengah) sepertiku,
tak ada yang lebih hina dari salah bertutur kepadamu.
”Maaf,”
bukamu, ”sudah seminggu saya di sini, tapi saya sepertinya masih sangat asing.”
”Saya
dan anak-anak Indo yang lain juga minta maaf, kau tahulah kami ini hanya
tomakaka, bahkan ada tobuda (kasta terendah), tak seberapa nyali kami untuk melancangi
kaum junjungan sepertimu.”
Air
matamu jatuh, luruh satu demi satu. Apa yang salah dariku, atau darimu,
Runduma? Iya, kutahu namamu dari Indo, malam setelah kau makam di tubuhnya,
Indo menerakan segala perihal kau, mesti tak jelas dan tentu saja samar-samar.
Kau membawa banyak luka dari dunia?
”Di
dunia, saya junjunganmu. Tapi di sini beda…,” kau menggantung, wajahmu kian
rusuh, adakah yang kisruh di pikiranmu? Kemudian, tangisanmu keras, bertambah
deras buyar air matamu.
”Lola
Toding?”
Aku
tergagau. Kau tahu namaku? Ah ya, pasti Indo yang memberi tahu. Kau duduk
geming—wajahmu tampak ragu.
”Ceritalah!”
terkaku, dan aku yakin kau ingin menerakan sesuatu.
”Jangan
sampai yang lain tahu, kau bisa menjaga rahasia, kan?”
Aku
mengangguk meyakinkanmu. Kau menimpalkan senyuman lantas memulai kisahmu,
dengan dada yang kelihatan sesak. Koyak.
Tongkonan
(rumah adat toraja) tampak gegap malam itu. Suara-suara riuh. Wajah-wajah
penuh peluh. Orang-orang berlibat bicara. Sesaat situasi menegang ketika
seorang lelaki paruh baya memegang leher baju pemuda yang wajahnya kusut.
”Pemuda
kusut itu ambe (ayah) ku.” Kausela ceritamu sendiri. Aku mengangguk, memberimu
isyarat melanjutkan cerita.
Ambemu
diam dalam simpuhnya. Ia tertssunduk lesu. Matanya berkaca-kaca seperti hendak
marah namun tak sanggup.
”Dia
sudah menyalahi pemali mappangngan buni (larangan berzinah). Ia berzinah,” geram lelaki paruh baya
itu. Dia kakekmu, Runduma? Betul. Kau mengangguk.
Ambe
dan indomu pacaran. Bukan lantaran mereka saling mencintai sehingga adat tak
adil padanya. Bukan. Seperti yang kauterakan; orangtuamu itu kedapatan saling
tindih di semak belakang tongkonan sebelum resmi menikah. Untung yang menemukan
mereka kerabatmu juga sehingga tak ia sebar kabarnya ke penjuru kampung.
Pagi
mulai beranjak menjejak siang. Kutahu itu dari getah putih yang mulai tak deras
mengucur dari tubuh Indo. Ceritamu belum selesai.
”Besok
saya lanjutkan, Toding,” cetusmu.
”Kau
janji?”
”Pasti
saya cerita!”
”Janji
jangan panggil Toding, itu nama lelaki, nama ayahku. Lola saja,” gelakku.
Kau
tersenyum, tampak geli mendengarku.
Awan
Agustus meriung di langit Toraja. Derau angin merontokkan rambut-rambut Indo
yang kecoklatan. Aku duduk di ambang bilik, melempar tatap sejauh mungkin.
Sebentar lagi, mungkin jelang beberapa hari Toraja akan riuh. Kudengar kabar,
keluarga Allo Dopang akan mengadakan rambu solo (perayaan kematian di Toraja) untuk
mayat tanggungannya yang masih sakit dalam tongkonan. Ingin rasanya aku
mengajakmu ke sana. Paling tidak, di sana kita akan melepas rindu pada sanak
kerabat. Bukankah, bagi kita anak-anak Indo, surga kecil adalah senyuman
kerabat. Atau kau ingin bertemu orangtuamu? Ikutlah denganku, Runduma, aku
yakin acaranya pasti meriah. Akan ada puluhan kerbau yang dipotong, babi juga
pasti banyak.
”Toding,”
tegurmu melamurkan lamunku. Aku berbalik badan. Menatapmu tajam.
”Eh,
maaf, maksud saya, Lola,” tambahmu lekas.
”Ada
apa? Mau melanjutkan yang tak sampai waktu itu?”
”Punya
waktu?”
”Silakan,”
timpalku tanpa menjawab basa-basi mu.
Ambemu
tokapua, sama seperti indomu, tak ayal, rampanan kapa (pesta pernikahan) harus
dihelat mewah di tongkonan mereka. Tak boleh tidak. Kalau lancang menghindar,
tulah akan menimpa. Katamu, kematianmu berawal dari sana. Kendatipun bukan
pokok perkara, pernikahan mewah orangtuamu yang membuatmu mati sebelum sempat
mengecapi dunia lebih lama. Sama sepertiku. Seperti anak-anak Indo yang lain.
Pernikahan
mereka lancar, hingga saya lahir dan berusia lima bulan. Semuanya berakhir
begitu saja.” Kau tersedu. Tidak dapat melanjutkan kalimatmu. Lelaki dapat
koyak juga, batinku. Tak sadar, kini kau telah merasuk dalam pelukanku.
Malam
itu, malam terakhirmu di dunia. Kau mengembuskan napas penghabisan di tangan
kedua orangtuamu. Mereka tak pernah akur setelah rahasia pernikahannya
terbongkar. Ambemu menanggung borok utang. Sebagai kaum bangsawan, ambemu wajib
membayar dengan dua belas kerbau dewasa untuk menyunting indomu. Jadilah ia
memungut uang di kiri-kanan, tentu dengan bunga yang tinggi. Setelah lebih
setahun pernikahan mereka utang ratusan juta itu belum juga dapat ambemu
lunasi. Ia jadi sering marah. Memukuli dan mengumpati indomu. Kau sial malam
itu, Runduma. Dari gendongan indomu kau terpental setelah ambemu tak lagi
meredam amarahnya sehingga ia melompat dan mendorong indomu hingga tersungkur.
Indomu meringis. Kepalamu mendabik keras lantai tongkonan. Sesaat hening.
Kemudian suasana keruh. Rusuh. Ambemu kalap. Gelagapan. Indomu merasukkan tubuhmu
ke gendongannya.
”Saya
merasa napasku berat malam itu. Lalu tersengal-sengal,” katamu, dan kau semakin
rapat dalam pelukanku.
”Kau
ingat semuanya?” tanyaku penasaran.
”Tidak
semua, tapi beberapa kejadian di jelang kematianku masih kuingat meski agak
samar,” jelasmu.
Ambemu
panik. Indomu jangan ditanya lagi. Ia kehilangan daya ketika melihat tangannya
yang menadah kepalamu memerah darah. Di gendongannya kau dibawa lari ke muka
tongkonan, ia berteriak.
”Tidak
ada yang mendengar. Kupikir semuanya telah kalap dalam lelap.” Kau menukas
kisahmu dengan pernyataan yang seakan-akan kausesali.
”Jadi
kematianmu hanya disaksikan ambe serta indomu?”
”Tidak
juga,” lantas jawabmu. ”Saat Puang Matua13 membawa arwahku, masih sempat
kulihat Tanta Mori—adik perempuan Ambe menangisiku yang telah kaku di gendongan
Indo.”
Kau
menutup ceritamu dengan mengatupkan rapat lenganmu ke tubuhku. Kau memelukku
lama. Lama sekali hingga kurasakan perasaan aneh terus menjalariku. Apakah ini
cinta? Semoga tidak.
”Saya
tak punya siapa-siapa,” selamu mengantarai isakanmu sendiri.
Kutepuk
halus pundakmu, ”Ada kami dan Indo. Jangan bilang begitu.”
Perasaan
aneh itu bertambah hebat dan akhirnya benar-benar merisakku. Aku mencintaimu,
Runduma.
Pagi
turun bersama kabut yang menutupi tebing-tebing batu dan kekar akar-akar yang
menjulangkan pohon di bukit Toraja. Rumah kita dingin sekali pagi ini. Aku
tengah menyusu. Riuh suara-suara terdengar di halaman passiliran. Runduma, kau
datang padaku pagi itu dengan wajah yang menyimpan banyak cerita. Aku tahu itu.
Kau lantas mengajakku masuk bilik dan duduk berhadapan.
”Lola,
kau tahu siapa yang jadi memandu turis-turis itu?”
Aku
menggeleng. Bingung.
”Sini,
sini,” kau tarik tanganku lalu bersama kita singkap ijuk bilikku.
”Itu,
tuh…”
Aku
menelisik kerumunan orang yang sibuk berfoto di depan Indo.
”Yang
pakai kacamata?”
”Bukan!”
tukasmu.
”Yang
berbaju coklat, pasti itu!
”Itu
Ambe,” kau lesu mengatakannya. Wajahmu tampak begitu kisruh Runduma.
Kau
tampak sedih hari ini. Padahal seharusnya rindumu terobati dan kau tak boleh
menampung begitu banyak muram di dadamu. Lama sekali kita berdiam di ambang
bilik menyaksikan pongah pengunjung dan tawa mereka yang kerap memilukan kita.
”Ambe
menyambi pemandu saat bulan-bulan wisata, di hari biasa ia menggarap sawah.”
”Lihat,
dia tahu banyak tentang Indo.” Kuarahkan pandangan ke ambemu. Ia tengah
menjelaskan kepada turis-turis itu tentang passiliran ini.
”Ia
bekerja sejak lajang.”
”Pantas!”
anggukku.
Pagi
tidak datang seperti biasa, lambat—lamat-lamat. Hari ini pagi dibangunkan oleh
Indo, passiliran gempar. Indo murka. Anak-anaknya ketakutan. Rambut-rambut Indo
berguguran. Meranggas satu-satu. Getahnya mengucur deras menjadi air mata.
”Kau
di mana, Lola?”
Suara
Indo bergetar memanggilku. Lantang seperti nekara ditabuh. Aku bergidik
mendengarnya. Namun tak bisa menyahut.
”Di
mana kau, Lola?” tanyamu dalam isakan. ”Mengapa kau pergi, saya mencintaimu.”
Suaramu membuat debaran aneh itu kian menjalariku. Kau mencintaiku juga,
Runduma?
Indo
masih murka. Hampir tumbang tubuhnya lantaran tak dapat memendam dendam. Ia
kehilangan anaknya. Semalam, tanpa ada yang tahu, ambemu, Runduma—membawa
mayatku yang hanya tulang berbalut belulang. Ia menjualnya seharga ratusan juta
rupiah kepada turis yang kemarin ia temani. Sekeras mungkin kuteriaki kau yang
masih bersimpuh di bilikku yang kini kosong. Dari sini, antara surga dan
passiliran arwahku tergantung tak jelas. Sebab tubuhku tak lagi menyatu dengan
Indo. Aku mencintaimu, Runduma. Kuyakin kau tak mendengarnya.
Sumber: lakonhidup.com
0 komentar